Sunday 22 June 2014

Kampanye Hitam dan Putih

Tuhan menciptakan banyak hal berpasangpasangan, entah untuk tujuan apa. Yang pasti hanya sedikit manusia yang tahu rahasia-Nya. Apakah malam dan siang diciptakan sekadar untuk kerja dan istirahat? Wongsaat ini banyak orang justru keluar malam dan siang tidur. Apakah cantik dan tidak cantik sekadar untuk jadi patokan memilih istri?

Hitam-putih sering dipahami sebagai simbol antagonisme kualitas. Putih simbol kebajikan karena identik dengan bersih, tak ada noda. Hitam simbol kejahatan, kegelapan, murung, sedih, dan duka. Orang yang peduli bahasa simbol, saat melayat biasanya pakai hitam dari ujung rambut hingga kaki dan tak lupa kacamata hitam. Yang putih hanya gigi dan kuku. Sama dengan suasana suka saat pernikahan dilambangkan dengan gaun pengantin serbaputih.

Nah, ada apa dengan kampanye hitam atau black campaign yang muncul secara siklis setiap pemilu, terlebih pada pemilihan presiden kali ini? Saat ada pihak mengusik kasus bus Trans Jakarta dan mengaitkan dengan Jokowi, orang bilang itu kampanye hitam. Saat orang mengungkit kasus penculikan aktivis saat reformasi juga dianggap kampanye hitam yang menyerang Prabowo. Materi seperti itu terus dicari dan makin dekat saat pencoblosan kian kencang. Bagaimana respons sang calon? Nggakusah ditanggapi, biarkan saja publik menilai, meski kemarahan sudah di ubun-ubun karena hal kecil yang terkubur bertahun-tahun diungkit kembali. 

Nasihat tim sukses tetap, “Sudahlah, biar kami yang menanggapi.” Para calon nggakusah reaksioner dan marah karena diawasi jutaan calon pemilih — yang mengamati gerak-gerik mereka persis mengamati ikan dalam akuarium. Jadi serbasalah. Mau menjawab sebagai klarifikasi dianggap kurang bijak. Diam terus dikira tak membela diri. Itulah wilayah abu-abu, yang sering mewarnai komunikasi sosial sehari-hari. Ungkapan ngono ya ngono ning aja ngono mencerminkan keniscayaan di masyarakat dalam menggambarkan toleransi atas perbuatan tak patut tetapi lazim terjadi. Tak ubahnya sikap permisif masyarakat yang mendiamkan penyimpangan atas nama kekaprahan. Celakanya sering dibungkus ornamen nilai-nilai budaya dan agama.

Pemberian uang politik diberi nama shodaqoh, bisyaroh, atau sejenisnya, sehingga kabur apakah benar shodaqohdan bisyaroh atau politik uang yang melawan hukum. Tak gampang menebak jalan pikiran 190-an juta pemilih karena keragaman budaya, cara pandang, dan parameter pemimpin ideal di mata rakyat. Teori mungkin lebih baik disimpan karena bisa menyesatkan dan kecele. Lebih baik dengar napas kehidupan masyarakat; bisik-bisik tetangga dan ngerumpi di gardu, pengajian majelis taklim, dan di warung kopi sembari nonton bola. Itulah suara autentik tentang siapa yang jadi pilihan mereka pada 9 Juli. Mereka tak begitu paham pertumbuhan ekonomi, kebocoran anggaran, reformasi birokrasi, dan tetekbengek perbaikan negeri ini. 

Dambaan mereka sederhana: beras murah, sekolah tak mahal, dan cari duit gampang. Pemimpin idola adalah yang mau mendengar jeritan rakyat, suka memberi, tegas, dan sederhana di mata rakyat. Kalau ada kampanye hitam berarti ada kampanye putih? Bisa ya, bisa tidak. Jika ada, kampanye putih berisi adu program yang sesuai dengan kehendak rakyat dan membuat bangsa ini maju sejajar dengan bangsa lain. Apakah belum siap berdemokrasi sehingga bersaing secara sehat sepertinya amat sulit?

Menerima kekalahan dengan legawaitu susah dan mengucapkan selamat ke pemenang itu pantangan. Orang yang menikmati suasana ini sering menyatakan demokrasi kita jangan diukur dengan Barat karena kita memiliki entitas budaya tersendiri yang berbeda dari Barat. Cara pelarian yang agak terhormat, meski identik dengan ketidakmampuan terbiasa berbeda dalam tatanan sosial, politik, dan kebudayaan. Sebaiknya masyarakat bersikap kritis, tak terbawa provokasi jalanan yang tak sesuai dengan prinsip akhlak dan etika bangsa. Jika masyarakat jijik terhadap cara tidak fair itu, pastilah berhenti sendiri. Jika masyarakat menikmati sebagai tontonan, ibarat tinju atau gulat, semangat olok-olok makin seru. Di sana-sini bersorak kegirangan atas ejekan, cibiran, dan fitnah kepada salah satu calon. Alangkah ironis, perhelatan akbar yang menyedot perhatian dunia dan biaya besar ini hanya diisi olok-olok dan akhirnya mendapatkan presiden hasil olok-olok jalanan. 

Naudzubillah. Semoga Ramadan yang datang akhir Juni ini menyadarkan orang yang suka kasak-kusuk, membuka aib sesama, dan selanjutnya selalu mohon pada Allah diberi pemimpin yang membawa maslahat bagi bangsa ini. Wallahu a’lam bissawab. (51)



No comments:

Post a Comment