Tuhan menciptakan banyak hal berpasangpasangan, entah untuk tujuan
apa. Yang pasti hanya sedikit manusia yang tahu rahasia-Nya. Apakah
malam dan siang diciptakan sekadar untuk kerja dan istirahat? Wongsaat
ini banyak orang justru keluar malam dan siang tidur. Apakah cantik dan
tidak cantik sekadar untuk jadi patokan memilih istri?
Hitam-putih sering dipahami sebagai simbol
antagonisme kualitas. Putih simbol kebajikan karena identik dengan
bersih, tak ada noda. Hitam simbol kejahatan, kegelapan, murung, sedih,
dan duka. Orang yang peduli bahasa simbol, saat melayat biasanya pakai
hitam dari ujung rambut hingga kaki dan tak lupa kacamata hitam. Yang
putih hanya gigi dan kuku. Sama dengan suasana suka saat pernikahan
dilambangkan dengan gaun pengantin serbaputih.
Nah, ada apa dengan kampanye hitam atau black campaign yang muncul
secara siklis setiap pemilu, terlebih pada pemilihan presiden kali ini?
Saat ada pihak mengusik kasus bus Trans Jakarta dan mengaitkan dengan
Jokowi, orang bilang itu kampanye hitam. Saat orang mengungkit kasus
penculikan aktivis saat reformasi juga dianggap kampanye hitam yang
menyerang Prabowo. Materi seperti itu terus dicari dan makin dekat saat
pencoblosan kian kencang. Bagaimana respons sang calon? Nggakusah
ditanggapi, biarkan saja publik menilai, meski kemarahan sudah di
ubun-ubun karena hal kecil yang terkubur bertahun-tahun diungkit
kembali.
Nasihat tim sukses tetap, “Sudahlah, biar kami yang
menanggapi.” Para calon nggakusah reaksioner dan marah karena diawasi
jutaan calon pemilih — yang mengamati gerak-gerik mereka persis
mengamati ikan dalam akuarium. Jadi serbasalah. Mau menjawab sebagai
klarifikasi dianggap kurang bijak. Diam terus dikira tak membela diri.
Itulah wilayah abu-abu, yang sering mewarnai komunikasi sosial
sehari-hari. Ungkapan ngono ya ngono ning aja ngono mencerminkan
keniscayaan di masyarakat dalam menggambarkan toleransi atas perbuatan
tak patut tetapi lazim terjadi. Tak ubahnya sikap permisif masyarakat
yang mendiamkan penyimpangan atas nama kekaprahan. Celakanya sering
dibungkus ornamen nilai-nilai budaya dan agama.
Pemberian uang politik diberi nama shodaqoh, bisyaroh, atau
sejenisnya, sehingga kabur apakah benar shodaqohdan bisyaroh atau
politik uang yang melawan hukum. Tak gampang menebak jalan pikiran
190-an juta pemilih karena keragaman budaya, cara pandang, dan parameter
pemimpin ideal di mata rakyat. Teori mungkin lebih baik disimpan karena
bisa menyesatkan dan kecele. Lebih baik dengar napas kehidupan
masyarakat; bisik-bisik tetangga dan ngerumpi di gardu, pengajian
majelis taklim, dan di warung kopi sembari nonton bola. Itulah suara
autentik tentang siapa yang jadi pilihan mereka pada 9 Juli. Mereka tak
begitu paham pertumbuhan ekonomi, kebocoran anggaran, reformasi
birokrasi, dan tetekbengek perbaikan negeri ini.
Dambaan mereka
sederhana: beras murah, sekolah tak mahal, dan cari duit gampang.
Pemimpin idola adalah yang mau mendengar jeritan rakyat, suka memberi,
tegas, dan sederhana di mata rakyat. Kalau ada kampanye hitam berarti
ada kampanye putih? Bisa ya, bisa tidak. Jika ada, kampanye putih
berisi adu program yang sesuai dengan kehendak rakyat dan membuat bangsa
ini maju sejajar dengan bangsa lain. Apakah belum siap berdemokrasi
sehingga bersaing secara sehat sepertinya amat sulit?
Menerima kekalahan dengan legawaitu susah dan mengucapkan selamat ke
pemenang itu pantangan. Orang yang menikmati suasana ini sering
menyatakan demokrasi kita jangan diukur dengan Barat karena kita
memiliki entitas budaya tersendiri yang berbeda dari Barat. Cara
pelarian yang agak terhormat, meski identik dengan ketidakmampuan
terbiasa berbeda dalam tatanan sosial, politik, dan kebudayaan.
Sebaiknya masyarakat bersikap kritis, tak terbawa provokasi jalanan yang
tak sesuai dengan prinsip akhlak dan etika bangsa. Jika masyarakat
jijik terhadap cara tidak fair itu, pastilah berhenti sendiri. Jika
masyarakat menikmati sebagai tontonan, ibarat tinju atau gulat, semangat
olok-olok makin seru. Di sana-sini bersorak kegirangan atas ejekan,
cibiran, dan fitnah kepada salah satu calon. Alangkah ironis, perhelatan
akbar yang menyedot perhatian dunia dan biaya besar ini hanya diisi
olok-olok dan akhirnya mendapatkan presiden hasil olok-olok jalanan.
Naudzubillah. Semoga Ramadan yang datang akhir Juni ini menyadarkan
orang yang suka kasak-kusuk, membuka aib sesama, dan selanjutnya selalu
mohon pada Allah diberi pemimpin yang membawa maslahat bagi bangsa ini.
Wallahu a’lam bissawab. (51)
No comments:
Post a Comment