Politik kerap dicap kotor, gelap, penuh intrik dan kebohongan. Seperti membenarkan kata Lord Acton: Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.
Korupsi, seolah menjadi keniscayaan. Kesan yang terlanjur melekat di
masyarakat ini menjauhkan manusia-manusia yang bersih dan profesional
dari dunia politik.
Partai politik, bukan pilihan ‘keren’. Sementara
dalam UU No 8 Tahun 2012 Pasal 51, ayat (1), setiap calon legislator
harus diajukan oleh partai politik. Lalu apa jadinya jika semua
orang berpikir bahwa politik adalah tempat untuk orang jahat, oportunis,
dan serakah? Bagaimana mungkin didapatkan lembaga DPR yang bersih dan
diisi oleh individu berintegritas? Apa jadinya jika mereka yang bersih
dan berkualitas antipati pada politik?
Kampanye Putih adalah sebuah gerakan sosial oleh profesional muda
Indonesia yang bertujuan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap
perpolitikan nasional Indonesia.
Karena minimnya kualitas caleg-caleg ini, kampanye yang mereka lakukan pun cenderung kasar, out of tune, miskin program kerja, namun kaya modal. Caleg yang tak lulus verifikasi, caleg yang memiliki rekam jejak buruk, tetapi kuat modal. Banyak media menuliskan nilai yang fantastis sampai lebih dari satu milyar untuk biaya kampanye. Rakyat ‘terpaksa’ memilih diantara golongan elite yang menghamburkan uang untuk kampanye dibandingkan untuk memperkaya riset atau memperkuat progam kerjanya.
Karena minimnya kualitas caleg-caleg ini, kampanye yang mereka lakukan pun cenderung kasar, out of tune, miskin program kerja, namun kaya modal. Caleg yang tak lulus verifikasi, caleg yang memiliki rekam jejak buruk, tetapi kuat modal. Banyak media menuliskan nilai yang fantastis sampai lebih dari satu milyar untuk biaya kampanye. Rakyat ‘terpaksa’ memilih diantara golongan elite yang menghamburkan uang untuk kampanye dibandingkan untuk memperkaya riset atau memperkuat progam kerjanya.
Maka tidak heran jika kampanye ‘bermodal’ yang dilakukan lebih
menekankan pada stage performance seperti panggung hiburan, orasi satu
arah, pencitraan lewat billboard, baliho dan reklame atau bahkan membeli
suara. Cara-cara ini yang membuat masyarakat antipati dan apatis pada
politik. Masalahnya, seburuk apapun kualitas caleg-caleg yang diajukan
oleh partai tersebut, seluruh 560 kursi DPR yang diperebutkan dalam
pemilu akan terisi. Sedikit apapun partisipasi masyarakat dalam pemilu,
keseluruhan kursi tersebut akan dibagi habis. Akhirnya, wakil-wakil
rakyat kita yang duduk di kursi DPR sana bukanlah the best of the best.
Suka atau tidak suka, merekalah yang akan membuat aturan-aturan
legislatif, undang-undang, menyusun anggaran negara, dan mengawasi
jalannya roda pemerintahan. Inilah yang terjadi di negara kita saat ini.
Lingkaran setan yang sangat sulit untuk diputus.
No comments:
Post a Comment